Krisis Kepercayaan Melanda: BP Batam Gagal Penuhi Janji Relokasi Warga Rempang.

Ket foto : Lokasi hunian warga terdampak proyek Rempang Eco-City.
1DETIK.INFO Batam – Janji Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk merelokasi warga terdampak proyek Rempang Eco-City kembali menjadi sorotan setelah berbagai tenggat waktu yang disampaikan tidak kunjung terealisasi. Meski telah berulang kali menyatakan bahwa relokasi warga akan dimulai pada 1 September 2024, hingga kini proses tersebut belum berjalan sesuai rencana. Kegagalan ini tidak hanya memicu ketidakpercayaan publik, tetapi juga mulai menggerus kredibilitas BP Batam di hadapan pemerintah pusat.

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, dengan tegas memastikan bahwa relokasi warga akan dimulai tepat awal September. Namun, kenyataannya, pembangunan hunian baru di kawasan Tanjung Banon yang menghabiskan anggaran ratusan miliar masih belum rampung hingga saat ini. Warga yang menunggu kepastian hak mereka terus terjebak dalam ketidakpastian. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa BP Batam gagal dalam mengelola proyek yang seharusnya menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) tersebut.

Ketidakpastian Sertifikat Hak Milik (SHM).

Salah satu masalah paling krusial adalah penundaan dalam penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada warga yang pro terhadap proyek Rempang Eco-City. BP Batam mengakui bahwa mereka masih berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN terkait proses ini. Namun, tanpa adanya SHM, relokasi warga ini tidak hanya tertunda secara fisik, tetapi juga terhenti secara hukum. Warga menjadi semakin ragu akan hak-hak mereka di masa depan, terutama mengenai kepemilikan lahan dan rumah yang dijanjikan.

Ketidakjelasan ini bisa menjadi bom waktu bagi BP Batam, karena sertifikat tanah merupakan hak dasar warga. Jika penyerahan SHM terus tertunda, maka tidak hanya kredibilitas BP Batam yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah yang terlibat dalam proyek ini.

Manajemen Proyek yang Buruk.

Selain masalah SHM, pembangunan rumah di Tanjung Banon mengalami keterlambatan signifikan. BP Batam berulang kali menggunakan faktor cuaca sebagai alasan utama keterlambatan tersebut. Namun, alasan ini mulai dianggap klise dan tidak masuk akal, mengingat proyek besar seperti ini seharusnya sudah mempersiapkan segala antisipasi terkait cuaca. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah BP Batam benar-benar memiliki kemampuan manajerial yang memadai untuk menjalankan proyek ini.

Bahkan, hingga akhir Agustus 2024, BP Batam baru berhasil memindahkan dua kepala keluarga dari Desa Sei Raya ke hunian sementara, menambah total menjadi 189 kepala keluarga. Angka ini masih jauh dari target relokasi keseluruhan, sementara pembangunan rumah baru berjalan sangat lambat. Situasi ini menunjukkan bahwa BP Batam tidak siap mengatasi tantangan yang ada, dan ini semakin memperburuk citra lembaga tersebut.

Janji Santunan yang Tak Menenangkan.

BP Batam sebelumnya menjanjikan akan memberikan santunan sewa rumah sebesar Rp1,2 juta per kepala keluarga serta biaya hidup Rp1,2 juta per jiwa untuk warga yang telah direlokasi ke hunian sementara. Namun, warga merasa bahwa kompensasi ini hanya solusi sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan. Ketiadaan kejelasan mengenai kapan mereka bisa menempati hunian tetap dan menerima SHM membuat warga semakin gelisah.

Banyak warga yang merasa bahwa janji-janji ini hanyalah "penenang sementara" yang tidak memberikan solusi jangka panjang. Jika BP Batam gagal memenuhi janji-janji ini, atau jika terjadi penundaan lebih lanjut, kemungkinan besar akan muncul gelombang ketidakpuasan yang lebih besar, baik dari warga maupun aktivis yang memperjuangkan hak-hak masyarakat terdampak.

Dukungan Warga yang Mulai Menipis.

Meskipun BP Batam mengklaim mendapatkan dukungan dari beberapa warga Desa Sei Raya seperti Alowadodo, yang menyatakan bahwa proyek ini dapat mendongkrak perekonomian lokal, dukungan ini tampak rapuh. Semakin lama proses ini berlangsung tanpa kepastian, semakin besar potensi bagi dukungan ini untuk berbalik menjadi oposisi. Warga yang sebelumnya mendukung proyek ini mungkin akan mempertanyakan apakah mereka benar-benar mendapatkan manfaat dari proyek yang diklaim sebagai "mesin ekonomi baru" ini.

Krisis Kepercayaan yang Menghantui BP Batam.

Kegagalan BP Batam untuk menyelesaikan relokasi warga dan memberikan kepastian hukum melalui penyerahan SHM memperlihatkan kelemahan serius dalam manajemen mereka. Tidak hanya itu, BP Batam juga terancam kehilangan kepercayaan dari pemerintah pusat, yang selama ini memberikan dukungan penuh untuk keberlangsungan proyek Rempang Eco-City. Jika kegagalan ini terus berlanjut, BP Batam tidak hanya akan menghadapi protes dari warga, tetapi juga dari pemerintah pusat yang melihat proyek ini sebagai bagian penting dari strategi pembangunan ekonomi nasional.

Masyarakat kini menunggu langkah konkret dari BP Batam, bukan lagi sekadar janji dan alasan-alasan yang terus diulang. Tanpa solusi yang jelas dan cepat, BP Batam akan semakin terjebak dalam krisis kepercayaan yang bisa mengancam keberlanjutan proyek Rempang Eco-City secara keseluruhan.

(Gultom)

0 Komentar

Lowongan Wartawan oleh Media 1detik